http://www.fica.org/cs/dr-mayriot-id
ITA FATIA NADIA, TIM RELAWAN: “INI MURNI DARI HATI NURANI...”
Sampai pekan lalu, sekitar 40 hari setelah kerusuhan pertengahan Mei lalu, Tim Relawan masih terus melakukan investigasi korban pemerkosaan dan kekerasan. Mereka tidak sekadar mendengar informasi lalu mencatat. Juga, mereka melakukan penyisiran lokasi dan pengecekan agar data benar-benar akurat. Hasilnya, menurut Ita Fatia Nadia, 40 tahun, Koordinator Kalyanamitra, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengkhususkan diri dalam bidang kewanitaan, mereka telah mendata 182 korban, berusia antara 10 tahun dan 50 tahun – terbanyak, korban berusia antara 20 dan 30 tahun. Sebagian dari korban masih syok dan mengalami depresi; sejumlah korban tewas di saat peristiwa terjadi, ada yang bunuh diri, dan masih ada di antara korban terbaring di rumah sakit.
Tak mudah meminta Ita untuk menunjukkan di mana korban berada, hingga D&R bisa mengeceknya langsung. Ita enggan mengatakan, tapi ia meyakinkan bahwa semua yang ia katakan benar adanya. Memang, ia sendiri tak mengecek satu persatu; hanya beberapa di antara korban yang secara langsung ia temui.
Dan, Ita, yang bergabung di Kalyanamitra sejak tahun 1993, melakukan ini semua dengan ikhlas. Toh, ia mengaku beberapa kali menerima teror gelap, meminta agar ia dan timnya, Divisi Pendamping Korban, menghentikan kegiatannya mengidentifikasi korban. “Apa yang kami lakukan murni dari hati nurani, tidak ada ambisi politik sedikit pun,” katanya. Karena itu, meski ia kadang-kadang cemas juga, ia tetap menjalankan tugas kemanusiaan itu.
Berikut wawancara Puji Sumedi H dan Rustam F Mandayun dari D&R dengan ibu dua anak itu, di kantornya, di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu malam, 27/6:
Mingguan D&R: Di masyarakat kini muncul isu, korban pemerkosaan ada yang hamil. Benar? ITA NADIA: Mereka masih mengalami trauma berat. Tidak sedikit dari mereka yang justru menutup mulut tak mau menceritakan apa yang dialaminya. Tidak hanya si korban pemerkosaan, melainkan juga keluarganya masih mengalami stres berat.
Sejauh yang kami ketahui, ada dua orang yang hamil. Seorang karyawati, ia lalu bunuh diri dengan minum Baygon. Satu lagi masih kami verifikasi, dia berumur 18 tahun dan bunuh diri baru seminggu yang lalu.
D&R: Bisa diceritakan cara kerja Tim Relawan? IN: Awalnya, kami membuat ‘hotline’ 24 jam, tidak ada libur. Ternyata, banyak informasi masuk, memberitahukan keberadaan korban. Si pemberitahu bisa teman, saudara, tetangga, orang tua, juga korban sendiri. Mereka memberikan alamat lokasi kejadian, waktu, dan juga keberadaan si korban sekarang.
Dari situ, kami melakukan investigasi dan menyisir ke lapangan untuk membuktikan kebenarannya. Kalau benar, kami catat. Jika ternyata mereka telah pergi ke luar Jakarta, tapi masih di Indonesia, bila ada relawan kami di situ, kami juga mencoba untuk menyisirnya. Misalnya, ada yang pergi ke Kalimantan.
Tak sedikit korban dan keluarganya yang kini berada di luar negeri karena takut dan trauma tinggal di Indonesia. Mereka biasanya menelepon kami dan memberitahukan dan membenarkan bahwa anggota keluarganya menjadi korban pemerkosaan.
Memang, tidak mudah melakukan identifikasi korban pemerkosaan. Tidak semudah seperti mengidentifikasi korban kebakaran. Yang kami temukan, kebanyakan pemerkosaan dilakukan tidak hanya oleh satu orang. Kami menyisir geografi, mulai dari daerah Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Dari situ kami buat peta lokasi. Ternyata, paling banyak terjadi pemerkosaan di ruko-ruko (rumah toko) yang terletak di pinggir jalan besar, tempat kendaraan mudah lalu lalang, dan dekat dengan komunitas miskin di sekitarnya. Di daerah permukiman peristiwa itu terjadi juga, jika lokasinya dekat dengan ruko atau ada di belakang ruko-ruko itu, misalnya di Pantai Indah Kapuk. Dan umumnya, merupakan daerah pecinan menengah ke bawah.
D&R: Perbandingan korban di Jakarta Utara dengan Jakarta Barat? IN: Korban paling banyak di Jakarta Barat, di ruko dan kompleks elite. Di Jakarta Utara, tidak separah di Jakarta Barat.
Kami pernah mengecek apartemen Mitra Bahari di Jakarta Utara. Waktu kami datang, penghuninya sudah pergi semua. Pihak pengelola apartemen mengatakan tidak ada korban pemerkosaan di sana. Tapi, kami mendapat telpon langsung dari penghuni Mitra Bahari yang kini berada di luar negeri, membenarkan kalau anggota keluarganya jadi korban pemerkosaan.
D&R: Bagaimana dengan korban yang bernama samaran “Vivian” yang di internet itu? IN: Soal Vivian, kami tidak mendapat laporan. Tapi, korban lain yang tinggal di apartemen Mitra Bahari. Yang ini pun sangat sulit investigasinya. Mereka yang tinggal di ruko-ruko dekat apartemen itu sekarang tutup mulut, katanya mereka diteror.
Temuan di Mitra Bahari itu akan kami verifikasikan lagi. Umumnya, mereka telah banyak yang pergi ke Singapura, Hongkong, Australia, Taiwan, dan Kanada. Hampir setiap malam kami mendapat telepon dari mereka dan mengatakan anggota keluarganya jadi korban dan sekarang masih berobat di luar negeri.
D&R: Korban-korban yang Anda data hanya diperkosa? IN: Pertama, ada korban tak diperkosa, cuma ditelanjangi lalu dianiaya. Kedua, korban diperkosa dan dianiaya. Saya diundang ke Singapura oleh seorang ayah untuk menengok anaknya yang kini masih terbaring di sebuah klinik di Singapura. Anak itu berusia 18 tahun, diperkosa dan dianiaya. Saya diminta menyaksikan langsung bahwa anaknya benar-benar menjadi korban. Lalu di Solo, sampai kini masih ada yang koma di sebuah rumah sakit karena diperkosa.
Ketiga, korban diperkosa lalu dibunuh atau terbunuh. Seorang wanita memberikan kesaksian bahwa dua adik perempuannya, berusia 22 dan 18 tahun, tanggal 14 Mei sore, diperkosa di rukonya oleh tujuh laki-laki asing yang menyerang rukonya. Tak cuma itu, selesai memperkosa, beberapa dari pelaku turun ke lantai satu dan membakar ruko itu. Saat itu pula, adiknya dilemparkan ke dalam api oleh mereka. Saat itu, wanita setengah baya itu hanya bisa menjerit memanggil nama dua adiknya. Dia sempat melarikan diri, ditolong oleh masyarakat pribumi di sekitarnya.
Menurut wanita tadi, ruko-ruko di sekitarnya pun bernasib serupa.
D&R: Apa yang bisa disimpulkan? IN: Hasil investigasi kami, kekerasan itu dilakukan oleh 3-10 orang. Waktunya, tanggal 13-15 Mei, puncaknya terjadi tanggal 14 Mei. Kejadiannya diawali dengan penyerangan dan perusakan, lalu pemerkosaan, dan terakhir pembakaran. Para pelaku bukan dari penduduk sekitar, karena para keluarga korban mengaku belum pernah mengenalnya sebelumnya.
Menurut saksi yang lain, para penyerang, perusak, dan pemerkosa tersebut berbeda dengan yang melakukan penjarahan. Para penjarah memang ada yang dari masyarakat sekitar, tapi cuma sekadar menjarah. Yang melakukan pemerkosaan dan pembakaran tidak dikenal.
Itu tak cuma terjadi di Jakarta. Di Medan juga terjadi, tapi baru tiga orang melapor ke Kalyanamitra, di Palembang satu orang.
D&R: Antara pemerkosa dan penjarah berbeda? IN: Penyerang datang, lalu merusak dan memperkosa, setelah itu merangsang penduduk untuk melakukan penjarahan. Setelah massa masuk, gedung dibakar. Kejadian ini benar-benar merupakan paket teror dan pengalihan pelaku, sehingga sangat sulit untuk mengidentifikasi pelaku sebenarnya.
D&R: Menurut Anda, kenapa sampai terjadi pemerkosaan? IN: Karena pemerkosaan menjadi alat yang mudah untuk menteror sebuah keluarga, dan karena si korban umumnya akan menutup diri.
D&R: Mungkinkah pelaku diadili? IN: Itulah sulitnya. Menteri Kehakiman Muladi sendiri pernah bilang agar pelaku segera ditangkap. Sangat sulit sekali itu. Apalagi dalam kasus pemerkosaan, harus ada saksi. Sekarang saja mereka yang mungkin menjadi saksi sebagian besar sudah banyak yang diteror lewat telepon. Kami saja dalam melakukan pendekatan mengalami kesulitan dan butuh waktu lama. Mula-mula kami berupaya membangun kepercayaan agar mau bercerita. Barulah setelah mereka percaya betul, mereka mengizinkan relawan datang ke tempat tinggalnya, dan biasanya malam hari.
Selain melakukan investigasi, kami pun melakukan pendampingan untuk korban dan keluarganya, secara psikologis dan medis. Kami juga menyelenggarkan “Rumah Aman” yang bisa menampung mereka.
D&R: Ada imbauan agar korban melapor kepada aparat akhir-akhir ini... IN: Tidak akan mudah korban pemerkosaan melapor kepada aparat. Saat ini trauma mereka belum hilang.
Pihak kepolisian cukup baik. Mereka pun melakukan investigasi dengan caranya dan mereka juga datang kemari untuk bertukar pikiran. Pernah mereka meminta data tapi kami menolak. Kami minta mereka pun mencari, barulah data dia dan data kami di-’cross-check’.
D&R: Jumlah Tim Relawan sekarang berapa? IN: Sampai sekarang sekitar 400 orang. Mereka terdiri dari dokter umum, dokter spesialis, rohaniwan, psikolog, ahli bahasa Cina dari semua jenis – ini disebut tim ahli. Ada tim pendamping, yang saya koordinator umumnya. Lalu, ada pula koordinator ‘hotline’, koordinator relawan, koordinator kawan konseling.
Mengapa kami perlu ahli bahasa Mandarin? Rata-rata dari korban yang didampingi tidak mau berbicara lagi dalam bahasa Indonesia. Mereka ingin menghilangan memori itu. Padahal, mereka lahir dan dibesarkan di sini. Tapi itu hal wajar, dalam kondisi seperti itu adalah wajar. Secara psikologis mereka ingin menghilangkan memori yang sangat menyakitkan dan membuatnya trauma.
D&R: Apa yang dimaksud dengan “Rumah Aman”? IN: Sebuah bangunan tempat para korban dan keluarganya tinggal untuk memperoleh perlindungan dan rasa aman, dan memperoleh ketenangan spiritual. Dia tahu bahwa ada orang lain yang menemaninya. Di rumah itu ada ‘volunteer’ yang terpilih benar, dokter umum, psikolog, ginekolog, psikiatri, rohaniwan.
Tapi, ada pula yang masih dirawat di rumah sakit. Kalau dia masuk rumah sakit atas inisiatif sendiri, itu merupakan hak prerogatif rumah sakit. Kami tidak bisa mengutik-utik. Tapi, kalau si korban masuk rumah sakit atas rujukan dari kami, akan ada anggota relawan yang mendampinginya. Dan, rumah sakitnya tidak sembarang rumah sakit, melainkan rumah sakit yang bisa menjadi “rumah aman” kedua untuk korban.
D&R: Sekarang apakah masih dilakukan investigasi dan verifikasi? IN: Kami pun masih terus melacak. Kini sudah tercatat 182 orang korban, dan agaknya masih akan bertambah lagi jumlahnya. Sore tadi , kami baru mendapat informasi, seorang ‘teller’ bank jadi korban pemerkosaan, tak pernah keluar rumah sebulan lebih karena trauma. Ternyata kini dia meninggalkan rumah entah ke mana. Kami sedang melakukan pencarian. Lalu, seorang ibu yang anaknya diperkosa dan dibakar mengalami stres. Dia pun meninggalkan rumah, dan kami pun sedang melakukan pencarian juga.
D&R: Menteri Urusan Peranan Wanita menyatakan belum menemukan satu pun korban pemerkosaan ... IN: Itu aneh. Memang, setelah Menteri mengeluarkan pernyataan, ada stafnya yang mengontak kami untuk meminta data. Tapi, kami tidak memberikannya. Kami sengaja merahasiakan, karena ini merupakan kepercayaan dari para korban dan keluarganya. Kami tidak bisa mempertaruhkan kepercayaan mereka. Yang penting, apa yang kami lakukan bersama tim relawan yang lain benar-benar atas dorongan hati nurani. Sama sekali tidak ada ambisi politisnya.
D&R: Apakah Tim Relawan mendapat teror? IN: Setelah Romo Sandy mendapat kiriman granat, saya juga ditelepon suatu malam, Katanya, “Mbak Ita kan sekeretaris II Romo Sandy di Tim Relawan. Apakah tidak cukup dikirimi granat. Apa mau yang lebih dari itu?” Saya mencoba berdialog, karena saya yakin dia punya atasan. Saya minta agar saya dan Romo Sandy bisa dipertemukan dengan atasannya untuk berdialog. Saya coba yakinkan kepadanya bahwa yang kami lakukan murni dari hati nurani tanpa ambisi politik sedikit pun. Telepon langsung ditutup.
Dari Badan Intelijen ABRI pun datang kemari dua orang. Mereka ingin meminta data dengan alasan untuk menepis bahwa yang terjadi tidak benar. Mereka menyatakan, bagaimana bisa masyarakat Indonesia melakukan ini semua. Mereka minta agar kegiatan Tim Relawan dihentikan karena berita tersebut berdampak jelek di luar negeri.
Lalu, saya juga mendapat telepon, orang itu tahu benar saya punya dua anak, nama dan alamat sekolah anak saya, malah seragam dan jam berangkat dan pulang sekolah pun dia tahu. Dia meminta agar saya berhenti berkampanye. Sebagai seorang ibu, saya khawatir. Tapi, bukan lantas saya menyerah. Saya percaya pada hati nurani. Tapi ini harus dihadapi. Tim Relawan akan tetap jadi teman dan mendampingi korban.
Dan kami, apa pun yang terjadi, tidak akan memberikan nama dan data korban karena itu merupakan rahasia. Kami hanya mencoba membangun kepercayaan, memulihkan dirinya sebagai manusia dan anggota masyarakat.
D&R: Anda pernah bertemu korban? IN: Saya adalah koordinator umum. Saya harus tunduk pada aturan, tidak bisa sembarang orang menangani korban. Saya menampung semuanya. Kalau korban datang ke sini, saya melihatnya. Tiap malam, saya pun ikut menerima telepon dari para korban yang selalu mengontak kemari.
Saya melihat sendiri korban karena saya dijemput untuk menengoknya. Dua perempuan, satu orang 21 tahun dan 19 tahun, mengalami penganiayaan berat. Tanggal 6 Juni lalu, mereka operasi di luar negeri. Kedua korban tak sampai diperkosa. Mreeka dicegat di daerah jalan layang arah Kebon Jeruk, diserang lalu ditelanjangi. Mereka bisa lari, ditolong oleh seorang tukang ojek dan dipinjami jaket si tukang ojek. Yang satu diselamatkan seorang sopir taksi. Menurut kedua korban, mereka melihat hal serupa yang mereka alami di sekitarnya.
D&R: Anda mengatakan sampai kini mereka masih trauma. Apa yang mereka lakukan, misalnya? IN: Saya pernah diundang oleh suatu komunitas di Jakarta Barat. Mereka ini membawa pisau ke mana-mana, bahkan ke kamar mandi sekalipun. Umumnya pisau tak pernah lepas dari tangannya.***
[Mingguan D&R, no.46, Th.XXIX, 4 Juli 1998]
Rabu, 25 Juli 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar