Rabu, 25 Juli 2007

Saya Kapok Jadi Wanita Indonesia

http://www.fica.org/cs/mi-mayriot-id

Rabu, 1 Juli 1998
Saya Kapok Jadi Wanita.
Surat Terbuka untuk Menteri UPW
Oleh Melani Budianta,
Dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia

OPINI & MEDIA ANDA SIKAP diam Ibu Menteri UPW di saat media massa dan tokoh-tokoh masyarakat ramai membicarakan masalah perkosaan dan pelecehan terhadap anak gadis dan perempuan, sungguh membangkitkan tanda tanya. Kasus yang terjadi pada peristiwa penjarahan tanggal 14 dan 15 Mei yang lalu sesungguhnya sangat menggugat nurani setiap orang yang peduli terhadap perempuan, dan saya yakin Ibu termasuk di antaranya.
Dalam tulisan ini saya mencoba mereka-reka sebab-sebab kebisuan Ibu dan mohon segera dikoreksi apabila keliru. Sebab saya khawatir hal ini sangat erat kaitannya dengan persoalan mendasar yang dihadapi kaum perempuan di negeri ini.
Dugaan pertama, Ibu Menteri bersikap diam karena merasa belum yakin dan hampir tidak percaya bahwa peristiwa semacam itu bisa terjadi di negeri yang berasaskan pada Pancasila. Ibu tidak punya bukti-bukti dan angka-angka yang pasti. Barangkali Ibu berpikir, bahwa jangan-jangan, ini cuma isu atau gosip yang ‘dibesar-besarkan’ untuk kepentingan politik tertentu. Dan Ibu tidak mau mengambil risiko.
Inilah sebuah kenyataan yang harus dihadapi kaum perempuan, hukum secara umum tidak berpihak padanya. Kekerasan terhadap kaum perempuan seringkali terjadi dalam wilayah tertutup yang tanpa saksi. Seringkali pula dilakukan oleh orang-orang yang diberi legalitas untuk melindungi atau mempunyai kekuasaan atas diri sang korban atau dalam wilayah publik yang penuh saksi manakala pelakunya tidak mungkin untuk dilacak kembali.
Padahal saksi dan pembuktian adalah dua kata kunci dalam prosedur hukum.
Selain itu korban-korban pelecehan seksual dan perkosaan merasa sangat malu, kehilangan harga diri dan semangat juang. Mereka umumnya memilih untuk diam, bersembunyi atau mati. Kalaupun ada yang berani bicara, adalah mereka berani mengambil risiko berat dipermalukan untuk kedua kalinya di hadapan penyidik, pengadilan atau media massa. Suatu yang tragis, bahwa dalam berbagai kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, misalnya dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, calon korban seringkali sudah berusaha untuk minta tolong. Tapi atas dalih bukti yang tidak cukup, suara mereka dipantulkan kembali oleh tembok-tembok yang dingin.
Dengan kondisi seperti ini, maka statistik, angka-angka pembuktian biasanya hanya bisa dihitung dari jasad-jasad rusak kaum perempuan. Jadi Ibu, berapa banyak jasad rusak perempuankah yang diperlukan agar kasus ini layak dianggap tidak dibesar-besarkan?
Dugaan kedua, Ibu Menteri bersikap diam karena kasus ini menyangkut satu kelompok minoritas yang barangkali boleh diragukan kedudukannya sebagai orang Indonesia yang sejati dalam arti yang primordial atau berdasarkan takaran patriotismenya.
Tanpa berargumen tentang yang asli dan yang patriotis, satu hal sudah cukup
jelas bahwa masyarakat kita belum paham arti negara hukum dan demokrasi. Ini terjadi karena pendidikan politik yang telanjur salah kaprah. Sudah berpuluh-puluh tahun lamanya rakyat menyaksikan bagaimana hukum dipakai sebagai alat kekuasaan dan menonton bagaimana suara dan hak bicara diselewengkan. Akibatnya kita tidak tahu dan tidak bisa paham bahwa dalam negeri hukum dan tatanan yang demokratis bahkan musuh bebuyutan yang paling kita benci di muka bumi pun, harus kita hormati hak-hak sipilnya dan perlu kita perjuangkan haknya untuk mendapat perlindungan hukum.
Tapi saya berharap, mudah-mudahan dugaan kedua ini keliru. Sebab saya sudah menyaksikan sendiri, bagaimana kelompok perempuan, melalui berbagai gerakan solidaritas dan koalisi yang menonjol dalam gerakan reformasi, secara gigih meruntuhkan batas-batas sektarian dan primordial.
Simbol Pemanis
Ketika sedang maraknya pengelompokkan berdasarkan golongan dalam situasi krisis moneter, kaum perempuan membuat acara doa bersama antaragama. Dalam sidang-sidang pengadilan Karlina dan Romo Sandyawan, suster berkerudung dan perempuan berjilbab saling bergandengan tangan membagikan bunga dan bernyanyi. Mereka tidak pandang bulu, termasuk juga terhadap laki-laki yang ikut mendukung pergerakan mereka.
Dugaan ketiga, Ibu Menteri bersikap diam karena posisi Menteri UPW dalam wacana resmi negara lebih merupakan simbol pemanis untuk menutupi kondisi wanita yang buruk di negeri ini. Pertanyaannya, mengapa perlu ada departemen khusus urusan peranan wanita? Paling tidak ada empat kemungkinan jawaban. Kemungkinan pertama, karena Indonsesia sangat menghargai, menyanjung dan memuliakan kaum wanita. Kedua, atau sebaliknya karena kedudukan wanita sedemikian buruknya, sehingga perlu penanganan yang khusus. Ketiga, adalah gabungan keduanya, yakni untuk menunjukkan bagaimana hebatnya emansipasi wanita terjadi di negeri ini sehingga seorang wanita bisa menduduki jabatan menteri. Sehingga bisa memoles dan menutupi kondisi yang buruk seperti yang terjadi pada Marsinah dan kawan-kawannya. Dan kemungkinan keempat, karena peranan wanita dianggap penting, strategis, dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk berbagai kepentingan sosial, politik dan ekonomi, termasuk enambah devisa negara menjadi sumber tenaga gratis dan penunjang karier pejabat negara seperti organisasi Dharma Wanita.
Barangkali masih ada kepentingan lain yang terdaftar dalam arsip Ibu, yang luput saya amati. Tapi kalau dugaan saya benar, saya menuntut agar Ibu, sebagai menteri dalam kabinet yang bertekad untuk mengadakan reformasi agar segera membubarkan Dharma Wanita dan menghapus lembaga yang Ibu pimpin berikut segala jajarannya karena kehadiran dua institusi ini justru menjadi penghalang terwujudnya cita-cita emansipasi kaum perempuan.
Tidak ada yang bisa menolak diciptakan sebagai perempuan, sebagai manusia dengan golongan darah, warna kulit, raut wajah tertentu. Atau dilahirkan dalam golongan etnis, tempat dan zaman tertentu. Kalau memang seperti ditelusuri oleh para sejarawan, posisi kelompok Cina sudah mengandung luka sejarah, luka itu harus kita sembuhkan bersama. Jangan biarkan kaum perempuan, anak gadis berusia 12 tahun yang tidak berdosa menanggungnya.
***(Q-1)
(dimuat di Media Indonesia)

Tidak ada komentar: